
Teruntuk dirimu ksatria berjubah merah.
Boleh kan jika suatu saat aku tampak di hadapanmu untuk sekedar basa-basi menanyakan kabarmu agar kau mengingat bentuk wajah dan mendengar suaraku untuk beberapa mili detik ?
Walau sebenarnya aku tahu betul keadaanmu–akan–selalu baik ketika bersamanya.
Semoga memang benar begitu adanya.
Untukmu laki-laki yang selalu mengekor langkahku ketika pulang dari rumah Allah.
Apa kau masih ingat semasa kita masih sama-sama kecil saat senja menjelang,
kita berjamaah maghrib di masjid bersama teman-teman lain?
Kamu di deret saf laki-laki paling belakang dan aku di deret saf perempuan paling depan.
Sesekali berbuat dosa kecil dengan saling mencuri pandang di rumah Allah.
Suara kita melebur jadi satu mengamini surat Al-Fatihah sang imam.
Kini ketika kita tak bisa berjamaah lagi apa masih boleh aku merapal namamu
dalam sujud munfaridku pada-Nya ?
Kepada kamu yang telah mengajakku keatas panggung dramamu
kemudian membiarkanku berakting sendirian tanpa tahu skenariomu.
Aku tidak akan lupa dengan persuaan terakhir kita di salah satu kedai coklat
yang cukup tersohor di kota tempat aku tinggal,
kita saling menceritakan kesibukkan satu sama lain, ditemani coklat panas
yang mulai dingin oleh angin malam. Bercerita tentangmu yang kini berpredikat mahasiswa
dan aku yang akan menempuh serentetan jadwal ujian Sekolah Menengah Atas. Aku rindu wajah teduh itu,
rindu pada senyum manis itu, juga dengan pemiliknya–sangat.
Yah, rindu memang ditugaskan untuk datang kepada suatu pertemuan
yang kemudian tak berkesinambungan bukan ?
Kepadamu seseorang yang berzodiak sama denganku.
Hari ini tepat ketika aku menulis ini, telepon selulerku bergetar sebuah pesan singkat
datang dan tertera namamu di sana. Entahlah, aku memang tak pandai
berpura-pura padamu–untuk menyembunyikan perasaanku sendiri, aku tak pernah bisa
mencegah diriku untuk tak membalasnya. Sekalipun berhasil, aku tak bisa mencegah
jari-jemariku menekan tombol balas mana kala pesan singkatmu datang
untuk yang kedua kalinya, meski sering kali pesan singkat yang kukirim untukmu tak kau hiraukan.
Seketika jantungku berdetak lebih cepat dari semestinya.
Kamu datang lagi, lagi dan lagi dan selalu saja berhasil membuat sedikit guncangan di hatiku.
Tak apa, aku tak akan menuntutmu untuk tetap tinggal bersamaku–lagi,
bukankah dulu aku membiarkanmu memilih jalan kebahagiaanmu sendiri ?
Jadi, mulai sekarang tolong berbahagialah jadi kau tak perlu mencariku kala kau dirundung kesedihan, cukup.
Teruslah semangat meraih cita-cita muliamu, aku di belakangmu mendukung setiap langkah baikmu–selalu. :)
Dari seseorang yang masih saja dengan senang hati
merapalkan namamu dalam sujud munfaridnya.