Selasa, 01 Januari 2013

Diary Merah Jambu


Pagi ini seperti biasa setiap kegiatan yang ku mulai dari bangun tidur sampe tidur lagi, selalu ku tulis di buku diary bersampul warna merah jambu kesayanganku. Kenapa kesayangan? karena itu hadiah dari someone.
Katanya sih biar aku ngga sembarangan nulis curhatan di tembok, di daun pisang buat bungkus masakan nyokap, di meja belajar adek dan tempat tak terduga lainnya. Dia memang pacar yang perhatian ya. (¬,¬”)

“Anna.. buruan Rama udah jemput nih.” Teriak mama dari teras rumah.
“Dih, si mama kita lagi ngga di hutan belantara kan? Ngga usah pakek teriak deh.” Aku buru-buru nyusul ke teras.
“Abisnya kamu dandan dari tadi lama banget ngga kelar-kelar. Heran deh mama.”
“Mama sayang, ini kan hari istimewa. Iya kan sweetheart?” Kata ku beralih ke Rama. Bukannya membenarkan kata-kataku dia malah memberi reaksi andalannya ‘tersenyum’. “Lupakan.” Lanjut ku. “Ya udah, kita berangkat dulu ya ma. Daaaah.”
“Hati-hati di jalan ya sayang. Rama jangan ngebut ya, mama titip Anna.” Kata mama lalu mencium keningku juga Rama.

Yah, Raditya Kusuma Ramadhan cowok yang kini duduk di jok depan motor Megapro merah ini memang pacar super. Punya hoby basket yang membuatnya memiliki badan six pack plus tinggi, kulit kecoklatan, rambut kayak landak, selain itu dia juga punya senyum yang indah. Cukup ! Berhenti membayangkan sosoknya, aku yakin kalian bakal iri kalo ngeliat kami jalan berdua, Hªhªhª .
Sedangkan aku sendiri Annanda Apriliana, cewek sederhana berpostur tubuh lumayan ideal, dengan rambut bergelombang dan kulit agak putih. Aku punya banyak nama panggilan, ada yang manggil  Anna-lah, Nana-lah, Nanda-lah, April-lah, terserah kalian deh mau manggil apa yang penting jangan panggil aku Bambang ya, karena itu bukan namaku. (˘_˘”)

Sekarang aku duduk di bangku kelas XII di salah satu SMK swasta dan memilih masuk bidang kefarmasian.
Aku masuk sekolah yang katanya sekolah super sibuk ini, karena alasan mulia yang aku simpan sendiri. Hªhªhª  ~(‾‾~)~(‾‾)~(~‾‾)~

“Aku ke kelas dulu ya nyet, ntar ada latihan basket abis pulang sekolah. Ngga papa kan kalo kita perginya nunggu aku selesai latian dulu?” Kata Rama setelah kmi sampai di depan kelasku.
“Rama.. aku bukan piaraan kamu ya!”
“Tapi aku suka monyet lho..”
“Sayangnya aku bukan monyet tuh.”
“Dih, ratu monyet pagi-pagi udah cemberut aja kenapa tuh raja monyet?” sahut Angga yang kebetulan hendak masuk kelas.
“Eh, anak monyet diem dulu ya. Aku lagi ngomong sama si cantik nih.” Jawab Rama.
“Iya deh papa monyet, saya permisi lewat ya, hahaha”  
“Gimana sayang?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menggenggam kedua tanganku.
“Iya deh, tapi jangan...”
“Iya, ngga akan lama kok sayang. Ya udah sana masuk kelas gih, aku juga ke kelas dulu ya. Sampai ketemu nanti dear.”

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

“Kita mau kemana nyet?”
“Makan dulu yuk laper nih.” Akhirnya akupun mengalah dengan panggilan monyet. (╥_╥)
Kami berhenti di sebuah food court di mall yang kami datangi. Sambil menunggu pesanan kami datang dengan tidak sengaja muncul ide iseng di kepalaku. Aku mengambil Hp di tas vintage yang sedari tadi ku pangku dan pura-pura memainkannya, padahal asik ngambil gambar cowok unyu di depan ku ini.
‘Rama maaf ya, buat kenang-kenangan suatu saat nanti’. Tiba-tiba ada perasaan asing yang menusuk ulu hati. ‘Kenang-kenangan? Ngga ada yang bakal dikenang dia akan selalu di samping ku dan akan terus begitu’.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

“Sayang kita mau kemana? Ini kan bukan jalan ke rumahku?”
“Kalo kita ngga langsung pulang ngga papa kan nyet?”
“Iya.. ngga apa-apa sih, tapi kita mau kemana?” Tanya ku penasaran, tapi dia hanya diam dan aku yakin sebenarnya dia lagi tersenyum, cuma aku ngga bisa liat aja. Kamipun berhenti di sebuah masjid megah, di halaman depan masjid terdapat papan bertuliskan Masjid Al-Imam, nama yang indah.
“Kita sholat dulu di sini ya sayang.” Katanya.
“Iya.” Jawabku senang.
Dia lalu tersenyum dan menggandeng tanganku menuju masjid tersebut. Kami sholat Isya’ berjamaah, hanya berdua memang. Rama mengimami sholat kami dengan khusu’.
Hari ini benar-benar istimewa, terima kasih Allah, terima kasih Rama, malam ini– sangat– indah.

 “Kamu kenapa senyum-senyum sendiri sayang?” tanya Rama seusai sholat.
“Ngga apa-apa kok, aku cuma seneng aja bisa jamaah sama kamu.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Kamu ini lucu banget sih, kenapa ngga bilang dari dulu? Kan kita bisa sering-sering jamaah bareng.” katanya sambil mencubit pipiku dengan lembut. “Oiya, aku punya sesuatu nih buat kamu, tutup mata ya.” Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya.
Kemudian ada sesuatu yang menyentuh leherku, sebuah kalung dengan bandul nama RamAnna.
“Rama.. Ini bagus bangeeettt, makasih ya dear.. Terima kasih untuk hadiah ini, untuk kehadiranmu di sini, untuk semua kebaikkanmu, untuk kebahagiaan ini dan untuk segala-galanya.” Ucap ku seraya menatap dalam kedua bola matanya.
Dia hanya tersenyum ke arah ku, memegang tanganku dan menengadahkannya. “Berterima kasihlah pada-Nya.” Balas mu.

Terima kasih ya Tuhan, untuk kebersamaan kami di malam yang indah ini, untuk canda tawa yang pernah kami ukir bersama, untuk harapan yang telah kami rajut bersama dan untuk karunia-karunia indah-MU lainnya. Kami akan terus saling peduli, menjaga, mengasihi dan mendoakan satu sama lain sebagai bukti rasa syukur kami pada-MU.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.



Setelah sholat Rama menepikan motornya di sebuah taman kecil tak jauh dari masjid. Kami lalu duduk di salah satu bangku taman tersebut menggauli malam dengan canda tawa. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Hey, kamu berat dear.” Protes Rama.
“Sudah, tahan saja. Aku hanya ingin begini sebentar.” Ucap ku membela diri. Dia lalu tertawa kecil dan memeluk pundakku
 “Sayang, lihat deh! Bintang malam ini banyak ya, indah lagi.” Seru ku senang.
“Tenang aja suatu saat nanti, aku akan membawakannya untukmu.” Sahutnya sambil mengacak-acak poni depanku.
“Ohya ? Yang paling indah yaa.” Pinta ku.
“Iya, nanti akan ku ambilkan.” Ucap Rama sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
Kami segera pulang, sang waktu sepertinya cemburu pada kami malam ini, sehingga ia berjalan begitu cepat.
Aku tidak akan melupakan hari ini begitu saja, semua yang kami lalui hari ini akan ku simpan rapat –dalam kotak ingatanku– dan tidak akan ku biarkan seorangpun yang bisa membukanya dan memaksanya menghilang begitu saja.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Aku menutup buku berwarna merah muda yang sedari tadi ku baca dengan khidmad di samping tempat peristirahatan terakhir seseorang yang selama 4 tahun telah menemani ku mewarnai kanvas kehidupan yang aku punya.
“Sayang, kamu ngga capek setiap ke makam Rama selalu bacain cerita itu?” pertanyaan tante Ayu–mamanya Rama–membangunkan lamunanku.
“Ngga ah tante, saya ngga akan pernah capek ataupun bosen baca ini tante.” Aku menjawab seraya menunjuk buku yang ku bawa. “Rama juga ngga akan bosen dengerin cerita saya kan tante? Rama pasti seneng di atas sana.. kalo tau saya ngga lupa.. sama masa-masa itu.”  Kata-kataku terbata menahan sesuatu di pelupuk mata yang memaksa keluar.

Inilah salah satu alasan kenapa aku masuk sekolah kesehatan ini, aku pengen semua orang di sekitar ku yang aku sayang ataupun yang sayang sama aku tetep sehat, supaya mereka selalu ada buat menemani ku mengukir senyum selamanya.
Tiba-tiba ingatan itu menyelinap dalam otak kecilku, kejadian saat aku di rumah sendirian.
Dengan terburu-buru aku menyambar hp di atas meja belajarku dan setelah menemukan nomor Rama di kontak hp, aku kemudian memencet tombol panggil.
“Kamu dimana? Bisa ke rumah sekarang? Aku takut di rumah sendirian.” Kata ku waktu itu seraya merengek.
“Haha, kamu ini udah gede Anna, masih aja takut di rumah sendirian. Sayang, denger ya Allah kan selalu bersama kita. Dia ngga akan pernah meninggalkan kita, maka jangan juga meninggalkan-Nya. Kalau masih ngerasa sendiri juga, berarti jelas kita udah ngga ingat Dia. Coba sholat deh, udah masuk waktu dzuhur juga nih, aku lagi ngerjain tugas di rumah Angga nih, tunggu ya sebentar lagi selesai kok. Nanti aku ke sana deh.” Katanya panjang lebar tapi tak satu katapun ku lupakan.

Aku merasakan kehampaan sejenak, aku ngga bakal lupa kata-kata sejuk yang pernah kamu ucapin tempo hari Rama, aku ngga bakal sendirian kan? Ada Allah juga ada kamu di sini dan dimanapun aku berada. Tiba-tiba ada perasaan tak beraturan menyusup hatiku.
Aku merasa ada sentuhan lembut di bahuku dan harum parfum ini, aku tau pasti siapa dia. Akupun menoleh dan melihat sosok Rama tersenyum ke arah ku. Aku tau kamu ada di sini sayang. Senyum itu, masih sama seperti setiap kamu menyapa ku, tulus dan ringan.
Ngga, senyum yang ini–bahkan–lebih indah Rama. Dan perlahan sosok itu menghilang, tetapi tidak dengan kenangan yang pernah dia berikan untuk ku dan untuk kehidupan ku.

 (~˘˘)~            selesai                       ~(˘˘~)

Mimpi



“Kakak, boleh aku tau apa impianmu ?” Tanya ku di suatu sore yang sejuk.
“Impian ? semacam cita-cita ? Hhmmm, astronot. Yah, rasanya menjadi astronot itu seru, Anna.” Jawab mu yakin.
“Astronot ? kenapa astronot ? kenapa tidak dokter ? apoteker ? atau arsitek gitu ?” Tanya ku lagi.
“Beneran pengen tau ?” Goda mu.
“Aku engga akan maksa.”

 “Aku ingin melihat angkasa dari dekat Anna, melihat indahnya bintang, merasa-kan melayang di bulan, yah begitu-lah.” Kata mu sambil berjalan ke taman kota yang sudah dipenuhi anak-anak ber-lari-an saling mengejar satu sama lain.
“Hanya itu ?” Tanya ku penasaran dan terus mengekor langkahmu.
“Yah, simple sekali bukan ?” Jawab mu lalu duduk di salah satu bangku taman yang masih kosong.
“Terus gimana kalau kita sudah punya mimpi dan sudah me-laku-kan apapun untuk mencapainya tapi masih belum terjuwud ?” Tanyaku polos.

“Mungkin kamu me-lupa-kan satu hal.” Tebak mu sambil menarik ku untuk duduk di sebelahmu.
“Ke-lupa-an sesuatu ? Masa sih ? Apa itu ?”
“Do’a, kamu tidak boleh sampai melupakannya. Apapun yang kamu laku-kan akan percuma kalau kau me-lupa-kan yang satu itu.
Berdoalah kepada Tuhan untuk segala sesuatu yang kamu ingin-kan, Tuhan adalah satu-satunya yang dapat melakukan semuanya. Kita tinggal meng-usaha-kan apa yang kita mampu. Bukan-kah itu sudah hukum alam ?
Jangan pernah berhenti untuk bermimpi, mungkin awalnya akan ada bahkan banyak orang yang akan menertawakan mimpimu, namun lihat-lah pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa dulu yang mereka ter-tawa-kan bukan-lah sebuah humor, tapi awal dari ke-sukses-an mu.” Terang mu panjang lebar.

“Iya, semua itu memang benar. Rasanya nyaman sekali ada di mana pun asal bersamamu.” Aku-ku sambil tersenyum. “Maaf jika pertanyaan-pertanyaan konyolku sering membuatmu gerah. Bahkan aku pernah berpikir kalau aku nanya terus kamu mungkin akan melempar ku kemana saja, agar kau bisa sedikit tenang.”

Kau hanya tertawa kecil menyembunyikan ke-geli-an akan kata-kata bodohku.

“Tau nggak ? Aku tidak hanya akan melihat indahnya bintang di angkasa dari dekat, tapi aku juga akan membawakannya untukmu.” Kata mu sambil mengacak-acak poni depanku.
“Ohya ? Yang paling indah yaa.” Pinta ku.
“Iya, nanti akan ku ambil-kan.” Ucapmu sambil mengaitkan jari kelingkingmu dengan jari kelingkingku.
Malam menjelang, taman yang sedari tadi ramai kini sudah mulai sepi, hanya tersisa para pedagang yang masih berjuang menggapai mimpi mereka untuk menjadi lebih sukses (mungkin).

Hujan Kemarin




Senja ini hujan kembali turun, seperti kemarin. Kemarin saat kamu masih ada di sini bersamaku.
Hujan.
Mungkin seseorang menyukai hujan, karena hujan pernah memberi mereka secuwil kenangan indah
bersama seseorang lainnya–yang mereka kasihi.

Aku menyukai hujan jauh hari sebelum kita bertemu dan aku hafal betul kenapa.
Dulu ketika kita–masih sama-sama–kecil, setiap kali turun hujan aku selalu berbaring di tempat tidur,
berbagi selimut hangat bersamanya–kakak perempuanku.

Dia pernah bilang “Tau ngga dek, kalo lagi ujan-ujan gini hantu-hantu ngga akan berani keluar gangguin kita lho.
Soalnya kalo mereka gentayangan pas lagi ujan pasti ribet deh.
Bayangin aja kalo pocong loncat-loncat di jalanan banjir, terus suster ngesot yang lagi ngesot-ngesot di tanah becek, lucu kan ? haha.”  Kami pun tertawa, lucu dan begitu polos.

Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya,
maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira. [ QS. Ar Ruum : 48 ]

Dan kini aku lebih menyukainya. Aku menyukai kebersamaan kita–dahulu– diantara rinai hujan yang tenang.

“Sini, kelihatannya kamu udah mulai kedinginan.” Katamu, disusul gerakan tanganmu memakaikan jaket merah–yang sedari tadi kau kenakan –padaku.
Hangat, bekas suhu tubuhmu.

Tiba-tiba saja aku memelukmu, tubuhku seakan mengucapkan terima kasih padamu.
Air bening itu tumpah begitu saja dari pelupuk mataku, terus mengalir melewati pipi dan menetes di bajumu, membuatnya menjadi sedikit basah.
Entahlah, aku hanya merasa kau akan pergi. Perasaanku mengatakan aku akan kehilanganmu–lagi.
Aku takut, apa yang dia katakan selama ini hampir tidak pernah salah–perasaan perempuan memang istimewa.

“Hey, kenapa nangis ? Cengeng lagi kan ?”
“Eh, engga. Siapa yang nangis ? Aku abis menguap tauk,suara hujan bikin ngantuk.”

Kamu hanya tersenyum, kemudian membenarkan posisi dudukmu.
“Nih ada pundak dianggurin aja, ntar ada yang makek lho.”
“Aku berani jamin kalau ngga akan ada cewek selain aku yang bakal kamu pinjemin pundak.”  Kataku sambil menjulurkan lidah–mengejekmu–lalu menyandarkan kepalaku di pundakmu.

“Kamu kalau mau nangis, nangis aja...” Hening.
“ Nangis sesukamu gih, tapi habis itu janji ya jangan nangis lagi. Apalagi kalau aku ngga ada, jangan sampe.
Nanti siapa yang mau minjemin pundaknya buat kamu nangis hayo ?”  Lanjutmu sambil mengacak-acak poni depanku–kebiasaan.
“Masih ada pundak orang lain kan ?” Kedua alisku bertaut.
“Ngga ada. Ngga bakalan ada, percaya deh sama aku.”

Dan kamu benar, memang tidak ada. Bukan karena tidak ada orang lain yang mau meminjamkan pundaknya,
tapi karena tidak ada yang lebih nyaman–tepatnya.

“Oiya, aku pernah baca sebuah artikel tentang doa. Katanya begini ‘Salah satu dari waktu-waktu yang paling mustajab untuk berdoa
adalah ketika turun hujan, terlebih lagi jika kehujanan’. Sekarang kan lagi hujan, kamu ngga pengen berdoa ?”

Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mataku kemudian memejamkan mata dan mulai memanjatkan doa tulus pada-Nya.
Meminta agar Yang Maha Pemurah berkenan hadir di setiap tarikan nafasmu, untuk menjagamu,
memberimu umur panjang, membuatmu sehat, mengizinkan mu untuk berbahagia, menguatkan bahumu,
menuntun setiap jengkal langkah kakimu,  juga mengasihimu–selalu.

“Kamu berdoa apa ? Apa aku boleh tahu ?” tanyaku seusai berdoa.
“Aku berdoa agar aku bisa selalu melihat tetes demi tetes bening hujan bersamamu.”
“Aamiin...”

Dan sekarang, setiap kali turun hujan, aku hanya bisa menatap dari balik kaca jendela yang berembun.
Membaca kembali setiap bait kata yang–dulu pernah– kau rangkai untukku,
sambil sesekali menyeka hujan dari pelupuk mataku sendirian, mengingkari janji yang pernah kau minta untuk ku penuhi.

Kemudian memejamkan mata, memohon pada Allah Yang Maha Esa. Masih doa yang sama,
doa yang dulu pernah ku panjatkan ketika bersamamu. Dan masih berharap Dia akan mengabulkan doaku seperti Dia mengabulkan doamu.
Kita memang sama-sama melihat tetes demi tetes bening hujan senja ini, tapi di tempat berbeda.
Aku di sini dan kamu di sana–entah dimana.

Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. [ QS. Ar Ruum : 49 ]

Aku ingat kamu pernah bilang bahwa kamu juga menyukai hujan, tapi aku tak begitu paham kenangan mana
yang membuatmu menjadi sangat menyukai hujan–sampai saat ini.