
Senja ini hujan kembali turun, seperti kemarin. Kemarin saat kamu masih ada di sini bersamaku.
Hujan.
Mungkin seseorang menyukai hujan, karena hujan pernah memberi mereka secuwil kenangan indah
bersama seseorang lainnya–yang mereka kasihi.
Aku menyukai hujan jauh hari sebelum kita bertemu dan aku hafal betul kenapa.
Dulu ketika kita–masih sama-sama–kecil, setiap kali turun hujan aku selalu berbaring di tempat tidur,
berbagi selimut hangat bersamanya–kakak perempuanku.
Dia pernah bilang “Tau ngga dek, kalo lagi ujan-ujan gini hantu-hantu ngga akan berani keluar gangguin kita lho.
Soalnya kalo mereka gentayangan pas lagi ujan pasti ribet deh.
Bayangin aja kalo pocong loncat-loncat di jalanan banjir, terus suster ngesot yang lagi ngesot-ngesot di tanah becek, lucu kan ? haha.” Kami pun tertawa, lucu dan begitu polos.
Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya,
maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira. [ QS. Ar Ruum : 48 ]
Dan kini aku lebih menyukainya. Aku menyukai kebersamaan kita–dahulu– diantara rinai hujan yang tenang.
“Sini, kelihatannya kamu udah mulai kedinginan.” Katamu, disusul gerakan tanganmu memakaikan jaket merah–yang sedari tadi kau kenakan –padaku.
Hangat, bekas suhu tubuhmu.
Tiba-tiba saja aku memelukmu, tubuhku seakan mengucapkan terima kasih padamu.
Air bening itu tumpah begitu saja dari pelupuk mataku, terus mengalir melewati pipi dan menetes di bajumu, membuatnya menjadi sedikit basah.
Entahlah, aku hanya merasa kau akan pergi. Perasaanku mengatakan aku akan kehilanganmu–lagi.
Aku takut, apa yang dia katakan selama ini hampir tidak pernah salah–perasaan perempuan memang istimewa.
“Hey, kenapa nangis ? Cengeng lagi kan ?”
“Eh, engga. Siapa yang nangis ? Aku abis menguap tauk,suara hujan bikin ngantuk.”
Kamu hanya tersenyum, kemudian membenarkan posisi dudukmu.
“Nih ada pundak dianggurin aja, ntar ada yang makek lho.”
“Aku berani jamin kalau ngga akan ada cewek selain aku yang bakal kamu pinjemin pundak.” Kataku sambil menjulurkan lidah–mengejekmu–lalu menyandarkan kepalaku di pundakmu.
“Kamu kalau mau nangis, nangis aja...” Hening.
“ Nangis sesukamu gih, tapi habis itu janji ya jangan nangis lagi. Apalagi kalau aku ngga ada, jangan sampe.
Nanti siapa yang mau minjemin pundaknya buat kamu nangis hayo ?” Lanjutmu sambil mengacak-acak poni depanku–kebiasaan.
“Masih ada pundak orang lain kan ?” Kedua alisku bertaut.
“Ngga ada. Ngga bakalan ada, percaya deh sama aku.”
Dan kamu benar, memang tidak ada. Bukan karena tidak ada orang lain yang mau meminjamkan pundaknya,
tapi karena tidak ada yang lebih nyaman–tepatnya.
“Oiya, aku pernah baca sebuah artikel tentang doa. Katanya begini ‘Salah satu dari waktu-waktu yang paling mustajab untuk berdoa
adalah ketika turun hujan, terlebih lagi jika kehujanan’. Sekarang kan lagi hujan, kamu ngga pengen berdoa ?”
Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mataku kemudian memejamkan mata dan mulai memanjatkan doa tulus pada-Nya.
Meminta agar Yang Maha Pemurah berkenan hadir di setiap tarikan nafasmu, untuk menjagamu,
memberimu umur panjang, membuatmu sehat, mengizinkan mu untuk berbahagia, menguatkan bahumu,
menuntun setiap jengkal langkah kakimu, juga mengasihimu–selalu.
“Kamu berdoa apa ? Apa aku boleh tahu ?” tanyaku seusai berdoa.
“Aku berdoa agar aku bisa selalu melihat tetes demi tetes bening hujan bersamamu.”
“Aamiin...”
Dan sekarang, setiap kali turun hujan, aku hanya bisa menatap dari balik kaca jendela yang berembun.
Membaca kembali setiap bait kata yang–dulu pernah– kau rangkai untukku,
sambil sesekali menyeka hujan dari pelupuk mataku sendirian, mengingkari janji yang pernah kau minta untuk ku penuhi.
Kemudian memejamkan mata, memohon pada Allah Yang Maha Esa. Masih doa yang sama,
doa yang dulu pernah ku panjatkan ketika bersamamu. Dan masih berharap Dia akan mengabulkan doaku seperti Dia mengabulkan doamu.
Kita memang sama-sama melihat tetes demi tetes bening hujan senja ini, tapi di tempat berbeda.
Aku di sini dan kamu di sana–entah dimana.
Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. [ QS. Ar Ruum : 49 ]
Aku ingat kamu pernah bilang bahwa kamu juga menyukai hujan, tapi aku tak begitu paham kenangan mana
yang membuatmu menjadi sangat menyukai hujan–sampai saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar