Minggu, 21 Juli 2013

Apologize




I’m holding on your rope 
Got me ten feet off the ground

Aku masih ingat pertama kali aku dan kamu bertemu, saat itu aku dan kamu masih sama-sama duduk dibangku sekolah dasar–masih begitu polos.
Hingga kemudian Tuhan mengizinkan aku dan kamu menjadi kita saat beranjak dewasa.

I’m hearin what you say but I just can’t make a sound
You tell me that you need me 
Then you go and cut me down, but wait

Masih kental dalam anganku masa-masa bagaimana aku dan kamu sama-sama berjuang untuk menjadi kita. Pagi itu kamu mengantarku ke sekolah kemudian menjemputku menjelang senja dan aku kadang merengut jika kamu sedikit tak tepat waktu.
Tapi kemudian aku tak bisa berkata-kata lagi jika kamu memasang muka penuh cintamu–sungguh lucu.
Hingga saat itu tiba, kamu membawa pergi hatiku tanpa meminta izin pada pemiliknya kemudian meninggalkan kenangan indah yang kian lama kian memahit.

You tell me that you’re sorry
Didn’t think I’d turn around, and say

Pagi ini aku melangkahkan kakiku dengan gontai menuju perpustakaan kota, tak sengaja lensa mataku menangkap bayangan asing sosokmu berdiri di ujung pintu.
Aku tetap melangkah seolah tak ada dirimu disana, bukankah aku sudah mulai terbiasa tak menatap wajah teduh itu ?
Kamu tersenyum kemudian menarik lenganku, aku juga masih ingat kalimat pertama yang kau ucapkan “Kamu, apa kabar ? masih ingat aku kan ?” Aku masih tetap membisu tetapi hatiku tidak bisu.
Bagaimana aku bisa lupa sedangkan apapun yang ada di dunia ini selalu memaksaku untuk mengingatmu ?
“Maaf, sudah membuatmu lelah menunggu.” Lanjutmu. Masih tidak ada jawaban dari mulutku. “Aku....” kalimat itu menggantung ketika ada seorang wanita memanggilmu kemudian menghampirimu dengan senyum lebar.

It’s too late to apologize, it’s too late
I said it’s too late to apologize, it’s too late

Senja ini kita kembali dipertemukan secara tak sengaja di taman kota tempat kita sering bermain sewaktu kecil, maaf maksudku aku dan kamu bukan kita.
Kali ini aku dan kamu sama-sama seorang diri. Kamu mulai membeberkan berbagai alasan kepergianmu dahulu dan terus mengucapkan kata maaf hingga akupun muak mendengarnya.

I’d take another chance, take a fall 
Take a shot for you
And I need you like a heart needs a beat 
But it’s nothin new

Bukankah kisah itu sudah usang ? kita sudah tiada, sekarang hanya ada aku dan kamu. Aku kamu yang terpisah kata dan, kata penghubung yang justru memberi jarak satu sama lain.
“Mari memulai dari awal.” Kataku.
“Maksud kamu ?” alismu bertaut.
“Mulai dari awal ketika aku dan kamu tidak saling mengenal.” Aku menahan air mataku sekuat tenaga.
“Apa ini berarti kmu menolak permintaan maafku ?”
“Sekarang apa gunanya kata maaf jika pada akhirnya hanya semakin memperparah luka seseorang ?”

I loved you with a fire red
Now it’s turning blue, and you say…
"Sorry" like the angel heaven let me think was you
But I’m afraid…
It’s too late to apologize, it’s too late
I said it’s too late to apologize, it’s too late

“Ini bukan salah dia.....”
“Aku tidak menyalahkan siapapun bahkan keadaan sekalipun, tidak pernah. Aku memang mencintaimu dengan sangat, tapi itu dulu. Aku hanya mencintai dirimu yang dulu berada di sisiku. Jika saat ini kamu datang maka bukan kamu orangnya, karena dia sudah lama mati–dalam hatiku.”
“Maaf.”
“Jangan mengucapkan kata itu lagi atau aku akan membencinya seumur hidupku.”

It’s too late to apologize, it’s too late
I said it’s too late to apologize, it’s too late
It’s too late to apologize
I said it’s too late to apologize

Aku membuka kotak kayu dengan hiasan bunga anggrek yang telah mengering, mengambil sejumlah barang di laci meja belajarku kemudian memasukkannya dalam kotak itu.
Aku melangkahkan kaki menuju kebun belakang rumah, menggali tanah subur di bawah pohon apel kemudian mengubur kotak kayu beserta semua memori masa lalu itu dalam-dalam dan menutupnya dengan tanah seperti semula.

I’m holdin on your rope, got me ten feet off the ground~

Sendirian





Aku muak mencintaimu sendirian.
Tanpa tahu bagaimana keadaanmu.
Apakah hatimu –juga– bergumul ketika aku mengirim pesan singkat padamu?
Apakah duniamu –juga– seolah berhenti saat aku menyapamu?
Apakah nafasmu –juga– tercekat kala aku melintas dihadapanmu?


Aku muak mencintaimu sendirian.
Wanita memang pandai menafsirkan sesuatu,
kami pandai menerka-nerka perasaan seseorang
kemudian menyimpulkannya, tetapi kepadamu aku tidak.
Aku tak bisa mengartikan senyum simpulmu saat kau merengek padaku
untuk menemanimu nonton film yang sudah lama kau tunggu rilisnya.
Aku tak paham maksud pujianmu ketika aku
berhasil meraih sesuatu yang sudah lama ingin kucapai.
Aku tak tahu makna genggaman tanganmu kala aku mulai lelah untuk melangkah.
Seolah otakku lumpuh, tak berfungsi seketika saat bersamamu.


Aku muak mencintaimu sendirian.
Aku tak tahu harus berbuat apa jika nanti tiba-tiba kamu memergokiku
sedang menatapmu yang begitu maharupa dan
seolah tanpa cela sedikitpun–dari kejauhan.
Aku tidak tahu harus berbuat apa jika nanti tiba-tiba kamu
pergi ke tempat yang tidak bisa untuk kujamah.
Aku tidak tahu harus berbuat apa jika nanti tiba-tiba kamu
memintaku untuk menerima kenyataan yang tak sedikitpun aku pernah membayangkannya.


Aku muak mencintaimu sendirian.
Mencari-cari kata yang tepat untuk kuucapkan padamu.
Mencari-cari resep makanan favoritmu.
Mencari-cari persamaan kita yang nantinya menjadi alasan
yang dapat kugunakan untuk berdiskusi denganmu.
Mencari-cari keburukkanmu agar aku bisa membencimu,
tetapi kenyataannya aku tidak menemukan sedikit cela dalam dirimu.
Jika memang kesempurnaan tidak ada di dunia ini, maka kamu seakan mendekati sempurna .


Aku muak mencintaimu sendirian.
Menunggumu online, menunggumu mengirim pesan singkat,
menunggumu memention twitterku, menunggumu lewat depan rumah,
menunggumu bercerita tentang teman-temanmu. Menunggu menunggu menunggu.
Aku benci menunggu bahkan sangat membencinya, tetapi jika itu tentangmu
entah mengapa menjadi begitu menyenangkan.
Maaf, mencintaimu membuatku muak, karena aku–takut–sendirian.

Sabtu, 23 Februari 2013

Kepada Kamu



Teruntuk dirimu ksatria berjubah merah.
Boleh kan jika suatu saat aku tampak di hadapanmu untuk sekedar basa-basi menanyakan kabarmu agar kau mengingat bentuk wajah dan mendengar suaraku untuk beberapa mili detik ?
Walau sebenarnya aku tahu betul keadaanmu–akan–selalu baik ketika bersamanya.
Semoga memang benar begitu adanya.

Untukmu laki-laki yang selalu mengekor langkahku ketika pulang dari rumah Allah.
Apa kau masih ingat semasa kita masih sama-sama kecil saat senja menjelang,
kita berjamaah maghrib di masjid bersama teman-teman lain?
Kamu di deret saf laki-laki paling belakang dan aku di deret saf perempuan paling depan.
Sesekali berbuat dosa kecil dengan saling mencuri pandang di rumah Allah.
Suara kita melebur jadi satu mengamini surat Al-Fatihah sang imam.
Kini ketika kita tak bisa berjamaah lagi apa masih boleh aku merapal namamu
dalam sujud munfaridku pada-Nya ?

Kepada kamu yang telah mengajakku keatas panggung dramamu
kemudian membiarkanku berakting sendirian tanpa tahu skenariomu.
Aku tidak akan lupa dengan persuaan terakhir kita di salah satu kedai coklat
yang cukup tersohor di kota tempat aku tinggal,
kita saling menceritakan kesibukkan satu sama lain, ditemani coklat panas
yang mulai dingin oleh angin malam. Bercerita tentangmu yang kini berpredikat mahasiswa
dan aku yang akan menempuh serentetan jadwal ujian Sekolah Menengah Atas. Aku rindu wajah teduh itu,
rindu pada senyum manis itu, juga dengan pemiliknya–sangat.  
Yah, rindu memang ditugaskan untuk datang kepada suatu pertemuan
yang kemudian tak berkesinambungan bukan ?

Kepadamu seseorang yang berzodiak sama denganku.
Hari ini tepat ketika aku menulis ini, telepon selulerku bergetar sebuah pesan singkat
datang dan tertera namamu di sana. Entahlah, aku memang tak pandai
berpura-pura padamu–untuk menyembunyikan perasaanku sendiri, aku tak pernah bisa
mencegah diriku untuk tak membalasnya. Sekalipun berhasil, aku tak bisa mencegah
jari-jemariku menekan tombol balas mana kala pesan singkatmu datang
untuk yang kedua kalinya, meski sering kali pesan singkat yang kukirim untukmu tak kau hiraukan.
Seketika jantungku berdetak lebih cepat dari semestinya.
Kamu datang lagi, lagi dan lagi dan selalu saja berhasil membuat sedikit guncangan di hatiku.
Tak apa, aku tak akan menuntutmu untuk tetap tinggal bersamaku–lagi,
bukankah dulu aku membiarkanmu memilih jalan kebahagiaanmu sendiri ?
Jadi, mulai sekarang tolong berbahagialah jadi kau tak perlu mencariku kala kau dirundung kesedihan, cukup.
Teruslah semangat meraih cita-cita muliamu, aku di belakangmu mendukung setiap langkah baikmu–selalu. :)

Dari seseorang yang masih saja dengan senang hati
merapalkan namamu dalam sujud munfaridnya.

Selasa, 01 Januari 2013

Diary Merah Jambu


Pagi ini seperti biasa setiap kegiatan yang ku mulai dari bangun tidur sampe tidur lagi, selalu ku tulis di buku diary bersampul warna merah jambu kesayanganku. Kenapa kesayangan? karena itu hadiah dari someone.
Katanya sih biar aku ngga sembarangan nulis curhatan di tembok, di daun pisang buat bungkus masakan nyokap, di meja belajar adek dan tempat tak terduga lainnya. Dia memang pacar yang perhatian ya. (¬,¬”)

“Anna.. buruan Rama udah jemput nih.” Teriak mama dari teras rumah.
“Dih, si mama kita lagi ngga di hutan belantara kan? Ngga usah pakek teriak deh.” Aku buru-buru nyusul ke teras.
“Abisnya kamu dandan dari tadi lama banget ngga kelar-kelar. Heran deh mama.”
“Mama sayang, ini kan hari istimewa. Iya kan sweetheart?” Kata ku beralih ke Rama. Bukannya membenarkan kata-kataku dia malah memberi reaksi andalannya ‘tersenyum’. “Lupakan.” Lanjut ku. “Ya udah, kita berangkat dulu ya ma. Daaaah.”
“Hati-hati di jalan ya sayang. Rama jangan ngebut ya, mama titip Anna.” Kata mama lalu mencium keningku juga Rama.

Yah, Raditya Kusuma Ramadhan cowok yang kini duduk di jok depan motor Megapro merah ini memang pacar super. Punya hoby basket yang membuatnya memiliki badan six pack plus tinggi, kulit kecoklatan, rambut kayak landak, selain itu dia juga punya senyum yang indah. Cukup ! Berhenti membayangkan sosoknya, aku yakin kalian bakal iri kalo ngeliat kami jalan berdua, Hªhªhª .
Sedangkan aku sendiri Annanda Apriliana, cewek sederhana berpostur tubuh lumayan ideal, dengan rambut bergelombang dan kulit agak putih. Aku punya banyak nama panggilan, ada yang manggil  Anna-lah, Nana-lah, Nanda-lah, April-lah, terserah kalian deh mau manggil apa yang penting jangan panggil aku Bambang ya, karena itu bukan namaku. (˘_˘”)

Sekarang aku duduk di bangku kelas XII di salah satu SMK swasta dan memilih masuk bidang kefarmasian.
Aku masuk sekolah yang katanya sekolah super sibuk ini, karena alasan mulia yang aku simpan sendiri. Hªhªhª  ~(‾‾~)~(‾‾)~(~‾‾)~

“Aku ke kelas dulu ya nyet, ntar ada latihan basket abis pulang sekolah. Ngga papa kan kalo kita perginya nunggu aku selesai latian dulu?” Kata Rama setelah kmi sampai di depan kelasku.
“Rama.. aku bukan piaraan kamu ya!”
“Tapi aku suka monyet lho..”
“Sayangnya aku bukan monyet tuh.”
“Dih, ratu monyet pagi-pagi udah cemberut aja kenapa tuh raja monyet?” sahut Angga yang kebetulan hendak masuk kelas.
“Eh, anak monyet diem dulu ya. Aku lagi ngomong sama si cantik nih.” Jawab Rama.
“Iya deh papa monyet, saya permisi lewat ya, hahaha”  
“Gimana sayang?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menggenggam kedua tanganku.
“Iya deh, tapi jangan...”
“Iya, ngga akan lama kok sayang. Ya udah sana masuk kelas gih, aku juga ke kelas dulu ya. Sampai ketemu nanti dear.”

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

“Kita mau kemana nyet?”
“Makan dulu yuk laper nih.” Akhirnya akupun mengalah dengan panggilan monyet. (╥_╥)
Kami berhenti di sebuah food court di mall yang kami datangi. Sambil menunggu pesanan kami datang dengan tidak sengaja muncul ide iseng di kepalaku. Aku mengambil Hp di tas vintage yang sedari tadi ku pangku dan pura-pura memainkannya, padahal asik ngambil gambar cowok unyu di depan ku ini.
‘Rama maaf ya, buat kenang-kenangan suatu saat nanti’. Tiba-tiba ada perasaan asing yang menusuk ulu hati. ‘Kenang-kenangan? Ngga ada yang bakal dikenang dia akan selalu di samping ku dan akan terus begitu’.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

“Sayang kita mau kemana? Ini kan bukan jalan ke rumahku?”
“Kalo kita ngga langsung pulang ngga papa kan nyet?”
“Iya.. ngga apa-apa sih, tapi kita mau kemana?” Tanya ku penasaran, tapi dia hanya diam dan aku yakin sebenarnya dia lagi tersenyum, cuma aku ngga bisa liat aja. Kamipun berhenti di sebuah masjid megah, di halaman depan masjid terdapat papan bertuliskan Masjid Al-Imam, nama yang indah.
“Kita sholat dulu di sini ya sayang.” Katanya.
“Iya.” Jawabku senang.
Dia lalu tersenyum dan menggandeng tanganku menuju masjid tersebut. Kami sholat Isya’ berjamaah, hanya berdua memang. Rama mengimami sholat kami dengan khusu’.
Hari ini benar-benar istimewa, terima kasih Allah, terima kasih Rama, malam ini– sangat– indah.

 “Kamu kenapa senyum-senyum sendiri sayang?” tanya Rama seusai sholat.
“Ngga apa-apa kok, aku cuma seneng aja bisa jamaah sama kamu.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
“Kamu ini lucu banget sih, kenapa ngga bilang dari dulu? Kan kita bisa sering-sering jamaah bareng.” katanya sambil mencubit pipiku dengan lembut. “Oiya, aku punya sesuatu nih buat kamu, tutup mata ya.” Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya.
Kemudian ada sesuatu yang menyentuh leherku, sebuah kalung dengan bandul nama RamAnna.
“Rama.. Ini bagus bangeeettt, makasih ya dear.. Terima kasih untuk hadiah ini, untuk kehadiranmu di sini, untuk semua kebaikkanmu, untuk kebahagiaan ini dan untuk segala-galanya.” Ucap ku seraya menatap dalam kedua bola matanya.
Dia hanya tersenyum ke arah ku, memegang tanganku dan menengadahkannya. “Berterima kasihlah pada-Nya.” Balas mu.

Terima kasih ya Tuhan, untuk kebersamaan kami di malam yang indah ini, untuk canda tawa yang pernah kami ukir bersama, untuk harapan yang telah kami rajut bersama dan untuk karunia-karunia indah-MU lainnya. Kami akan terus saling peduli, menjaga, mengasihi dan mendoakan satu sama lain sebagai bukti rasa syukur kami pada-MU.
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.



Setelah sholat Rama menepikan motornya di sebuah taman kecil tak jauh dari masjid. Kami lalu duduk di salah satu bangku taman tersebut menggauli malam dengan canda tawa. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Hey, kamu berat dear.” Protes Rama.
“Sudah, tahan saja. Aku hanya ingin begini sebentar.” Ucap ku membela diri. Dia lalu tertawa kecil dan memeluk pundakku
 “Sayang, lihat deh! Bintang malam ini banyak ya, indah lagi.” Seru ku senang.
“Tenang aja suatu saat nanti, aku akan membawakannya untukmu.” Sahutnya sambil mengacak-acak poni depanku.
“Ohya ? Yang paling indah yaa.” Pinta ku.
“Iya, nanti akan ku ambilkan.” Ucap Rama sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
Kami segera pulang, sang waktu sepertinya cemburu pada kami malam ini, sehingga ia berjalan begitu cepat.
Aku tidak akan melupakan hari ini begitu saja, semua yang kami lalui hari ini akan ku simpan rapat –dalam kotak ingatanku– dan tidak akan ku biarkan seorangpun yang bisa membukanya dan memaksanya menghilang begitu saja.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Aku menutup buku berwarna merah muda yang sedari tadi ku baca dengan khidmad di samping tempat peristirahatan terakhir seseorang yang selama 4 tahun telah menemani ku mewarnai kanvas kehidupan yang aku punya.
“Sayang, kamu ngga capek setiap ke makam Rama selalu bacain cerita itu?” pertanyaan tante Ayu–mamanya Rama–membangunkan lamunanku.
“Ngga ah tante, saya ngga akan pernah capek ataupun bosen baca ini tante.” Aku menjawab seraya menunjuk buku yang ku bawa. “Rama juga ngga akan bosen dengerin cerita saya kan tante? Rama pasti seneng di atas sana.. kalo tau saya ngga lupa.. sama masa-masa itu.”  Kata-kataku terbata menahan sesuatu di pelupuk mata yang memaksa keluar.

Inilah salah satu alasan kenapa aku masuk sekolah kesehatan ini, aku pengen semua orang di sekitar ku yang aku sayang ataupun yang sayang sama aku tetep sehat, supaya mereka selalu ada buat menemani ku mengukir senyum selamanya.
Tiba-tiba ingatan itu menyelinap dalam otak kecilku, kejadian saat aku di rumah sendirian.
Dengan terburu-buru aku menyambar hp di atas meja belajarku dan setelah menemukan nomor Rama di kontak hp, aku kemudian memencet tombol panggil.
“Kamu dimana? Bisa ke rumah sekarang? Aku takut di rumah sendirian.” Kata ku waktu itu seraya merengek.
“Haha, kamu ini udah gede Anna, masih aja takut di rumah sendirian. Sayang, denger ya Allah kan selalu bersama kita. Dia ngga akan pernah meninggalkan kita, maka jangan juga meninggalkan-Nya. Kalau masih ngerasa sendiri juga, berarti jelas kita udah ngga ingat Dia. Coba sholat deh, udah masuk waktu dzuhur juga nih, aku lagi ngerjain tugas di rumah Angga nih, tunggu ya sebentar lagi selesai kok. Nanti aku ke sana deh.” Katanya panjang lebar tapi tak satu katapun ku lupakan.

Aku merasakan kehampaan sejenak, aku ngga bakal lupa kata-kata sejuk yang pernah kamu ucapin tempo hari Rama, aku ngga bakal sendirian kan? Ada Allah juga ada kamu di sini dan dimanapun aku berada. Tiba-tiba ada perasaan tak beraturan menyusup hatiku.
Aku merasa ada sentuhan lembut di bahuku dan harum parfum ini, aku tau pasti siapa dia. Akupun menoleh dan melihat sosok Rama tersenyum ke arah ku. Aku tau kamu ada di sini sayang. Senyum itu, masih sama seperti setiap kamu menyapa ku, tulus dan ringan.
Ngga, senyum yang ini–bahkan–lebih indah Rama. Dan perlahan sosok itu menghilang, tetapi tidak dengan kenangan yang pernah dia berikan untuk ku dan untuk kehidupan ku.

 (~˘˘)~            selesai                       ~(˘˘~)

Mimpi



“Kakak, boleh aku tau apa impianmu ?” Tanya ku di suatu sore yang sejuk.
“Impian ? semacam cita-cita ? Hhmmm, astronot. Yah, rasanya menjadi astronot itu seru, Anna.” Jawab mu yakin.
“Astronot ? kenapa astronot ? kenapa tidak dokter ? apoteker ? atau arsitek gitu ?” Tanya ku lagi.
“Beneran pengen tau ?” Goda mu.
“Aku engga akan maksa.”

 “Aku ingin melihat angkasa dari dekat Anna, melihat indahnya bintang, merasa-kan melayang di bulan, yah begitu-lah.” Kata mu sambil berjalan ke taman kota yang sudah dipenuhi anak-anak ber-lari-an saling mengejar satu sama lain.
“Hanya itu ?” Tanya ku penasaran dan terus mengekor langkahmu.
“Yah, simple sekali bukan ?” Jawab mu lalu duduk di salah satu bangku taman yang masih kosong.
“Terus gimana kalau kita sudah punya mimpi dan sudah me-laku-kan apapun untuk mencapainya tapi masih belum terjuwud ?” Tanyaku polos.

“Mungkin kamu me-lupa-kan satu hal.” Tebak mu sambil menarik ku untuk duduk di sebelahmu.
“Ke-lupa-an sesuatu ? Masa sih ? Apa itu ?”
“Do’a, kamu tidak boleh sampai melupakannya. Apapun yang kamu laku-kan akan percuma kalau kau me-lupa-kan yang satu itu.
Berdoalah kepada Tuhan untuk segala sesuatu yang kamu ingin-kan, Tuhan adalah satu-satunya yang dapat melakukan semuanya. Kita tinggal meng-usaha-kan apa yang kita mampu. Bukan-kah itu sudah hukum alam ?
Jangan pernah berhenti untuk bermimpi, mungkin awalnya akan ada bahkan banyak orang yang akan menertawakan mimpimu, namun lihat-lah pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa dulu yang mereka ter-tawa-kan bukan-lah sebuah humor, tapi awal dari ke-sukses-an mu.” Terang mu panjang lebar.

“Iya, semua itu memang benar. Rasanya nyaman sekali ada di mana pun asal bersamamu.” Aku-ku sambil tersenyum. “Maaf jika pertanyaan-pertanyaan konyolku sering membuatmu gerah. Bahkan aku pernah berpikir kalau aku nanya terus kamu mungkin akan melempar ku kemana saja, agar kau bisa sedikit tenang.”

Kau hanya tertawa kecil menyembunyikan ke-geli-an akan kata-kata bodohku.

“Tau nggak ? Aku tidak hanya akan melihat indahnya bintang di angkasa dari dekat, tapi aku juga akan membawakannya untukmu.” Kata mu sambil mengacak-acak poni depanku.
“Ohya ? Yang paling indah yaa.” Pinta ku.
“Iya, nanti akan ku ambil-kan.” Ucapmu sambil mengaitkan jari kelingkingmu dengan jari kelingkingku.
Malam menjelang, taman yang sedari tadi ramai kini sudah mulai sepi, hanya tersisa para pedagang yang masih berjuang menggapai mimpi mereka untuk menjadi lebih sukses (mungkin).

Hujan Kemarin




Senja ini hujan kembali turun, seperti kemarin. Kemarin saat kamu masih ada di sini bersamaku.
Hujan.
Mungkin seseorang menyukai hujan, karena hujan pernah memberi mereka secuwil kenangan indah
bersama seseorang lainnya–yang mereka kasihi.

Aku menyukai hujan jauh hari sebelum kita bertemu dan aku hafal betul kenapa.
Dulu ketika kita–masih sama-sama–kecil, setiap kali turun hujan aku selalu berbaring di tempat tidur,
berbagi selimut hangat bersamanya–kakak perempuanku.

Dia pernah bilang “Tau ngga dek, kalo lagi ujan-ujan gini hantu-hantu ngga akan berani keluar gangguin kita lho.
Soalnya kalo mereka gentayangan pas lagi ujan pasti ribet deh.
Bayangin aja kalo pocong loncat-loncat di jalanan banjir, terus suster ngesot yang lagi ngesot-ngesot di tanah becek, lucu kan ? haha.”  Kami pun tertawa, lucu dan begitu polos.

Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya,
maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira. [ QS. Ar Ruum : 48 ]

Dan kini aku lebih menyukainya. Aku menyukai kebersamaan kita–dahulu– diantara rinai hujan yang tenang.

“Sini, kelihatannya kamu udah mulai kedinginan.” Katamu, disusul gerakan tanganmu memakaikan jaket merah–yang sedari tadi kau kenakan –padaku.
Hangat, bekas suhu tubuhmu.

Tiba-tiba saja aku memelukmu, tubuhku seakan mengucapkan terima kasih padamu.
Air bening itu tumpah begitu saja dari pelupuk mataku, terus mengalir melewati pipi dan menetes di bajumu, membuatnya menjadi sedikit basah.
Entahlah, aku hanya merasa kau akan pergi. Perasaanku mengatakan aku akan kehilanganmu–lagi.
Aku takut, apa yang dia katakan selama ini hampir tidak pernah salah–perasaan perempuan memang istimewa.

“Hey, kenapa nangis ? Cengeng lagi kan ?”
“Eh, engga. Siapa yang nangis ? Aku abis menguap tauk,suara hujan bikin ngantuk.”

Kamu hanya tersenyum, kemudian membenarkan posisi dudukmu.
“Nih ada pundak dianggurin aja, ntar ada yang makek lho.”
“Aku berani jamin kalau ngga akan ada cewek selain aku yang bakal kamu pinjemin pundak.”  Kataku sambil menjulurkan lidah–mengejekmu–lalu menyandarkan kepalaku di pundakmu.

“Kamu kalau mau nangis, nangis aja...” Hening.
“ Nangis sesukamu gih, tapi habis itu janji ya jangan nangis lagi. Apalagi kalau aku ngga ada, jangan sampe.
Nanti siapa yang mau minjemin pundaknya buat kamu nangis hayo ?”  Lanjutmu sambil mengacak-acak poni depanku–kebiasaan.
“Masih ada pundak orang lain kan ?” Kedua alisku bertaut.
“Ngga ada. Ngga bakalan ada, percaya deh sama aku.”

Dan kamu benar, memang tidak ada. Bukan karena tidak ada orang lain yang mau meminjamkan pundaknya,
tapi karena tidak ada yang lebih nyaman–tepatnya.

“Oiya, aku pernah baca sebuah artikel tentang doa. Katanya begini ‘Salah satu dari waktu-waktu yang paling mustajab untuk berdoa
adalah ketika turun hujan, terlebih lagi jika kehujanan’. Sekarang kan lagi hujan, kamu ngga pengen berdoa ?”

Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mataku kemudian memejamkan mata dan mulai memanjatkan doa tulus pada-Nya.
Meminta agar Yang Maha Pemurah berkenan hadir di setiap tarikan nafasmu, untuk menjagamu,
memberimu umur panjang, membuatmu sehat, mengizinkan mu untuk berbahagia, menguatkan bahumu,
menuntun setiap jengkal langkah kakimu,  juga mengasihimu–selalu.

“Kamu berdoa apa ? Apa aku boleh tahu ?” tanyaku seusai berdoa.
“Aku berdoa agar aku bisa selalu melihat tetes demi tetes bening hujan bersamamu.”
“Aamiin...”

Dan sekarang, setiap kali turun hujan, aku hanya bisa menatap dari balik kaca jendela yang berembun.
Membaca kembali setiap bait kata yang–dulu pernah– kau rangkai untukku,
sambil sesekali menyeka hujan dari pelupuk mataku sendirian, mengingkari janji yang pernah kau minta untuk ku penuhi.

Kemudian memejamkan mata, memohon pada Allah Yang Maha Esa. Masih doa yang sama,
doa yang dulu pernah ku panjatkan ketika bersamamu. Dan masih berharap Dia akan mengabulkan doaku seperti Dia mengabulkan doamu.
Kita memang sama-sama melihat tetes demi tetes bening hujan senja ini, tapi di tempat berbeda.
Aku di sini dan kamu di sana–entah dimana.

Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. [ QS. Ar Ruum : 49 ]

Aku ingat kamu pernah bilang bahwa kamu juga menyukai hujan, tapi aku tak begitu paham kenangan mana
yang membuatmu menjadi sangat menyukai hujan–sampai saat ini.

Jumat, 22 Juni 2012

Harapan

 

Tuhan, ujian kami yang sesungguhnya telah dimulai.
mungkin kami sering kali gagal, terlalu banyak mengeluh dan kami juga pernah menyerah.
Tapi kami tidak (akan) berhenti berharap, kami akan terus terus dan terus berharap,
menorehkan tinta harapan itu di atas awan.
Yah, tinggi sekali memang tapi di sanalah seharusnya (ia) di letakkan, karena kami yakin semakin tinggi kami menggantungkan harapan kami maka (akan) semakin tinggi pula usaha kami (untuk) menggapainya.


Bukankah hidup kami berawal dari sebuah harapan ?
Ini tentang harapan, tentang kehidupan dan tentang usaha kami
Yang telah diajarkan oleh orang-orang super di sekeliling kami.
Mereka mengajarkan kami tentang arti bergandeng tangan bersama sahabat saat dia tak tahu kemana arahnya menuju.
Tentang arti memahami ketidaktahuan salah seorang dari kami, tentang arti memberi ketika kami memiliki kelebihan dan yang lainnya.
Tuhan, kami bangga pada mereka, kami mau dan kami ingin seperti mereka. Orang-orang yang beruntung bukan orang-orang yang merugi.


Nanti jika saatnya aku dan teman-temanku yang mengalaminya, duduk dipanasnya kursi ujian, maka mudahkanlah  tangan-tangan kecil kami melingkari jawaban yang benar.
Bukakanlah  pikiran kami yang selama ini sedikit tertutup, perjelaslah  pemahaman kami dalam menerima materi dari ibu bapak guru kami.

Kami tidak akan mengecewakan mereka Tuhan, kami akan berjanji nanti jika kami menangis, maka kami akan menangis haru karena bangga pada diri kami sendiri  karena pada akhirnya kenyataan membuka lebar mata kami dan menunjukkan betapa hebatnya kami.
Dan nanti ketika harapan itu telah dapat kami raih, kami (tanpa terkecuai) tidak akan melupakan uluran tangan-MU Tuhan, kami akan (lebih) bersyukur karena anugerah-MU yang tak henti mengalir di kehidupan (sementara) kami selama di dunia-MU ini :)